Belakangan ini, vasektomi kembali menjadi topik hangat di tengah masyarakat setelah Dedy Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, mengusulkan agar para suami diwajibkan menjalani prosedur ini. Pernyataannya memantik kontroversi, banyak yang mendukung karena melihat dari sisi keadilan reproduksi, namun tidak sedikit pula yang menolaknya karena alasan agama, budaya, dan hak atas tubuh. Saat ini masih banyak masyarakat yang belum memahami apa sebenarnya vasektomi itu, bagaimana prosedurnya dilakukan, dan apa dampaknya terhadap kesehatan pria.
Apa Itu Vasektomi?
Vasektomi adalah metode kontrasepsi permanen untuk pria yang dilakukan dengan cara memotong atau menutup saluran vas deferens, yaitu saluran yang membawa sperma dari testis ke uretra. Dengan ditutupnya saluran ini, sperma tidak akan lagi keluar saat ejakulasi, sehingga tidak bisa membuahi sel telur.
Prosedur ini:
- Dilakukan dengan operasi kecil, bisa dengan sayatan (konvensional) atau tanpa pisau (no-scalpel).
- Memakan waktu sekitar 15–30 menit.
- Dilakukan dengan anestesi lokal, sehingga pasien tetap sadar.
- Masa pemulihan umumnya cepat, sekitar 2–3 hari untuk aktivitas ringan.
Fakta Penting Mengenai Vasektomi
- Tidak memengaruhi hormon dan gairah seks: Banyak pria khawatir vasektomi akan membuat mereka impoten. Padahal, hormon testosteron tetap diproduksi dan fungsi seksual tidak terganggu.
- Tidak langsung efektif: Butuh waktu hingga sperma benar-benar tidak terdeteksi dalam air mani. Biasanya perlu ejakulasi sebanyak 20 kali atau sekitar 3 bulan.
- Bersifat permanen: Meskipun bisa dicoba untuk dibalik (reversal), namun keberhasilannya tidak selalu terjamin. Karena itu, vasektomi diperuntukkan bagi pria yang sudah yakin tidak ingin menambah keturunan.
- Risiko komplikasi sangat rendah, seperti pembengkakan ringan atau nyeri, yang bisa ditangani dengan obat pereda nyeri.
Mengapa Vasektomi Jadi Isu Sosial?
Selama ini, beban kontrasepsi sering dibebankan kepada perempuan. Alat kontrasepsi seperti pil, suntik, IUD, dan implan umumnya digunakan oleh wanita, padahal pria juga bisa ikut berperan aktif.
Usulan Dedy Mulyadi mendorong agar laki-laki ikut bertanggung jawab terhadap pengendalian kelahiran memicu diskusi yang lebih luas tentang keadilan reproduksi dan kesetaraan peran gender dalam keluarga.
Namun demikian, mewajibkan vasektomi tanpa dasar sukarela jelas menimbulkan pertanyaan serius terkait hak atas tubuh dan kebebasan individu. Di banyak negara, termasuk Indonesia, prosedur steriliasi seperti vasektomi hanya dilakukan dengan persetujuan sadar dan sukarela dari pasien.
Perlu Edukasi
Usulan ini seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan literasi kesehatan reproduksi, khususnya tentang peran pria dalam keluarga berencana. Dengan edukasi yang tepat, masyarakat bisa memahami manfaat dan risiko vasektomi, serta membuat keputusan yang sadar dan bijak.
Kesimpulan
Vasektomi bukan sekadar prosedur media, ia juga mencerminkan pandangan sosial tentang peran pria dalam keluarga dan masyarakat. Usulan Dedy Mulyadi memang kontroversial, tetapi patut diapresiasi karena mendorong diskusi penting tentang kesetaraan, kesehatan, dan tanggung jawab bersama dalam keluarga berencana. Namun, solusinya bukan pemaksaan, melainkan edukasi dan partisipasi sukarela.