Dalam upaya mengurangi emisi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil, dua teknologi kendaraan masa depan terus menjadi sorotan: mobil listrik (EV) dan mobil hidrogen (fuel cell). Meskipun sama-sama dianggap ramah lingkungan, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal sumber energi, efisiensi, dan penerapan infrastrukturnya. Menariknya, saat banyak negara berlomba mengembangkan mobil listrik, Jepang justru lebih fokus ke mobil hidrogen. Apa alasannya, dan apakah pendekatan ini juga cocok diterapkan di Indonesia?
Perbandingan Mobil Hidrogen dan Mobil Listrik
1. Emisi dan Dampak Lingkungan
Kedua jenis mobil ini sama-sama tidak menghasilkan emisi langsung saat digunakan:
- Mobil listrik: Menggunakan energi dari baterai dan motor listrik.
- Mobil hidrogen: Menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar, yang menghasilkan uap air saat bereaksi di fuel cell.
Namun, emisi tidak langsung bisa berbeda tergantung sumber energinya. Jika listrik berasal dari pembangkit batu bara, mobil listrik tetap menyumbang emisi. Demikian juga, sebagian besar hidrogen saat ini masih diproduksi dari gas alam (grey hydrogen), yang menghasilkan emisi dalam prosesnya. Jika keduanya memakai sumber energi terbarukan, keduanya bisa sangat bersih.
2. Efisiensi Energi
Mobil listrik lebih efisien. Dari pembangkit ke roda, efisiensinya bisa mencapai 70-80%. Sedangkan pada mobil hidrogen, proses elektrolisis, penyimpanan, dan konversi di fuel cell menurunkan efisiensi menjadi sekitar 30-40%.
3. Kebutuhan Bahan Tambang
Mobil listrik memerlukan baterai besar, yang mengandalkan logam seperti lithium, kobalt, dan nikel. Penambangannya berdampak lingkungan dan sosial. Sementara fuel cell mobil hidrogen menggunakan logam mulia seperti platinum, tapi dalam jumlah lebih kecil, dan tidak memerlukan baterai besar.
4. Infrastruktur dan Pengisian
Mobil listrik membutuhkan jaringan charging station yang menyebar luas. Pengisian daya juga memakan waktu lebih lama dibandingkan pengisian bahan bakar biasa.
Mobil hidrogen bisa diisi dalam waktu sekitar 3-5 menit, mirip seperti bensin. Namun, stasiun pengisian hidrogen sangat langka dan teknologinya mahal.
Mengapa Jepang Memilih Mobil Hidrogen?
Beberapa alasan mengapa Jepang lebih fokus pada pengembangan kendaraan hidrogen:
- Topografi dan kepadatan kota: Jepang adalah negara kepulauan dengan lahan terbatas dan kota padat, sehingga sulit membangun infrastruktur charging EV secara merata.
- Jaringan listrik yang padat: Penggunaan EV dalam skala besar bisa membebani sistem kelistrikan Jepang. Hidrogen menjadi alternatif tanpa tekanan tambahan pada grid.
- Strategi nasional: Jepang sejak 2017 memiliki Basic Hydrogen Strategy untuk menjadi masyarakat berbasis hidrogen dan memimpin teknologi ini secara global.
- Industri otomotif: Jepang memiliki industri mobil besar yang sudah mapan dengan teknologi pembakaran internal. Fuel cell lebih cocok dengan sistem manufaktur yang ada, dibandingkan transisi penuh ke baterai.
- Kerja sama internasional: Jepang sudah bekerja sama dengan negara seperti Australia untuk memproduksi dan mengimpor hidrogen dalam skala besar, bahkan membangun kapal pengangkut hidrogen lintas benua.
Apakah Indonesia Cocok Mengembangkan Mobil Hidrogen?
Tantangan:
- Infrastruktur belum tersedia: Saat ini Indonesia belum memiliki ekosistem mobil hidrogen, tidak ada stasiun pengisian, produksi, maupun kendaraan komersialnya.
- Biaya investasi tinggi: Membangun infrastruktur hidrogen dari nol membutuhkan biaya besar dan dukungan teknologi tinggi.
- Fokus pemerintah masih pada EV: Pemerintah memberikan insentif dan regulasi untuk mendorong kendaraan listrik berbasis baterai terlebih dahulu.
Potensi:
- Energi terbarukan melimpah: Indonesia punya potensi besar dari tenaga air, surya, dan panas bumi yang bisa digunakan untuk memproduksi hidrogen hijau.
- Luas wilayah dan kebutuhan transportasi: Mobil listrik cocok untuk kota dan jarak pendek. Tapi untuk transportasi jarak jauh, truk logistik, kapal, atau kereta antarkota, hidrogen bisa jadi solusi lebih efisien.
- Visi jangka panjang: Dengan pengembangan yang tepat, Indonesia bisa menjadi produsen hidrogen hijau untuk pasar domestik dan ekspor.
Kesimpulan
Mobil listrik maupun mobil hidrogen memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Mobil listrik unggul dalam efisiensi dan sudah lebih siap secara infrastruktur. Sedangkan mobil hidrogen lebih ideal untuk pengisian cepat, transportasi berat, dan penggunaan jangka panjang jika diproduksi dari energi terbarukan. Jepang memilih fokus pada hidrogen karena kondisi geografis, strategi energi, dan perlindungan industri nasional. Untuk Indonesia, fokus jangka pendek pada mobil listrik lebih realistis, tetapi hidrogen tetap menjanjikan untuk masa depan, terutama untuk transportasi skala besar dan industri. Kalo Anda sendiri lebih tertarik mobil listrik atau mobil hydrogen?
BACA JUGA ARTIKEL: Mobil Listrik Terlaris Di Dunia: BYD Song Termasuk?